Keteladanan Sikap Berbakti yang Diwariskan oleh Nabi Suci Yu Shun
Oleh : Afat, S.Pd
Dalam jajaran Nabi dan Raja Suci yang menjadi pilar ajaran Khonghucu, nama Nabi Suci Yu Shun (虞舜) menduduki tempat istimewa sebagai lambang tertinggi dari Xiao (孝), atau laku bakti. Kisahnya bukan sekadar catatan historis, melainkan sebuah epik agung tentang kekuatan kesabaran, cinta kasih, dan kebajikan (De) yang terbukti mampu meluluhkan hati yang paling beku dan mengubah kebencian menjadi harmoni. Diwariskan dari generasi ke generasi, keteladanan Shun menawarkan panduan moral abadi mengenai esensi sejati dari hubungan anak dan orang tua, bahkan ketika dihadapkan pada ujian keluarga yang paling ekstrem. Shun tidak lahir dan dibesarkan dalam kehangatan keluarga yang ideal. Ia adalah produk dari lingkungan yang penuh dengan perlakuan tidak adil dan kebencian. Ayahnya, yang dikenal dengan nama Gu Sou (瞽叟), yang secara harfiah berarti "Si Tua yang Buta," tidak hanya buta secara fisik, tetapi juga buta mata hatinya terhadap kebajikan putranya sendiri. Ia secara terang-terangan membenci Shun dan mencurahkan seluruh kasih sayangnya kepada Xiang (象), adik tiri Shun. Ibu tiri Shun digambarkan sebagai sosok yang licik dan berhati buruk, yang senantiasa bersekongkol dengan suaminya untuk menyulitkan hidup Shun. Sementara itu, Xiang, sang adik tiri, tumbuh menjadi pribadi yang sombong, malas, dan penuh iri dengki, serta aktif berpartisipasi dalam setiap rencana jahat untuk mencelakai kakaknya. Dalam pusaran kebencian ini, Shun menjadi anomali. Setiap perlakuan buruk, fitnah, dan ancaman tidak dibalasnya dengan kemarahan atau dendam. Sebaliknya, ia justru semakin mempertebal laku baktinya. Ia tetap melayani ayahnya dengan hormat, mengasihi ibu tirinya, dan menyayangi adiknya tanpa pernah goyah. Sikap inilah yang membuat kebajikannya dikenal luas dan dianggap luar biasa.
Ada Pendidikan, Tiada Perbedaan
Oleh : Jap Adi Sucipto
Konsep “Ada pendidikan, tiada perbedaan” (Lun Yu XV:39) yang disabdakan oleh Nabi Kongzi (Confucius) menegaskan bahwa pendidikan harus diberikan kepada semua orang tanpa memandang kelas sosial, ras, atau status lain. Dalam konteks pendidikan modern, prinsip ini sejalan dengan pandangan global bahwa pendidikan adalah hak universal. UNESCO menegaskan bahwa “pendidikan adalah hak universal, hak untuk semua orang, tidak peduli dari mana mereka berasal” (Muhamad, 2023). Hal ini tercermin pula dalam UUD 1945 Pasal 31, bahwa “seluruh rakyat Indonesia berhak untuk mengakses pendidikan yang sama, fasilitas yang sama, dan kualitas yang sama” (Berdikarionline, 2013). Dengan kata lain, pemerintah dan masyarakat modern mengakui bahwa setiap anak harus memperoleh pendidikan yang setara. Misalnya, pembatalan program sekolah bertaraf internasional (RSBI/SBI) pernah dilakukan karena dianggap menimbulkan diskriminasi sebagai bukti komitmen menegakkan prinsip pendidikan inklusif (Berdikarionline, 2013). Dalam era kini, akses pendidikan semakin diperluas dengan berbagai kebijakan. Pendidikan wajib sembilan belas tahun, beasiswa bagi siswa kurang mampu, dan program inklusi adalah contoh upaya agar “tidak ada diskriminasi dalam dunia pendidikan”. Seperti dikatakan Murni Ramli tentang sistem Jepang: “pendidikan bukanlah barang elit yang harus diberikan hanya kepada sebagian anak yang pandai saja. Tetapi pendidikan adalah sebuah hak yang harus diterima oleh semua anak dengan kualitas yang sama” (Berdikarionline, 2013). Prinsip ini juga ditekankan dalam pendidikan inklusif, yaitu pendekatan yang memastikan semua siswa tanpa pengecualian mendapat akses belajar setara.
Pemberontakan Kristen Taiping Dan Negara Agama
Oleh : Dr. Ongky Setio Kuncono, S.Pd., SH., SE., MM., MBA., MSc.
Negara Republik Indonesia adalah bukan negara agama, melainkan negara yang menjamin setiap agama untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula ketika Negara Rakyat Tiongkok RRT yang berdiri tahun 1912 oleh Sun Yan-sen, didirikan atas dasar Nasionalisme, Demokrasi dan Kerakyatan, bukan berdasarkan salah satu agama. Bahkan dalam dinasti Han pun bukan bentuk negara agama, hanya Konfusianisme dipakai sebagai landasan etika moral dalam membentuk karakter pemimpin yang berkebajikan. Negara negara agama yang ada di Timur Tengah banyak yang didasarkan pada negara agama, kenyataanya bahwa negara agama justru tidak bisa menciptakan kedamaian dan keadilan. Konflik di negara agama selalu muncul dan sulit dipadamkan. Akhirnya banyak negara agama yang tidak stabil serta tidak mampu menciptakan kedamaian. Upaya membentuk negara agama bukan saja ada di Timur Tengah, melainkan di Tiongkok pernah ada pemberontakan yang menginginkan negara berdasarkan agama. Tiongkok sebagai negara yang luhur dan memiliki budaya ribuan tahun, tatanan masyarakat dan pemerintahan yang rapi, tiba-tiba bisa muncul peperangan dahsyat yang menewaskan lebih dari 20 juta jiwa, suatu peperangan dan pemberontakan lebih banyak memakan korban dibandingkan perang Amerika di Vietnam yang dianggap perang paling dahsyat. Mengapa pemberontakan yang kontroversial ini bisa terjadi dan tidak pernah terjadi pada sejarah ribuan tahun silam. Apakah keyakinan agama yang sangat radikal menjadikan pemberontakan itu, atau faktor lain yang bisa memicu pemberontakan yang menghebohkan dunia.
Harmoni di Setiap Langkah: Menelusuri Jalan Hidup Bersama Ajaran Nabi Agung Kongzi.
Oleh : Afat, S.Pd
Filsafat Nabi Kongzi (Confucius) menempatkan harmoni sebagai inti dari kehidupan yang baik, baik pada tataran individu, keluarga, masyarakat, hingga alam semesta. Dalam tradisi Konfusianisme klasik, harmoni (和, hé) bukan sekadar ketiadaan konflik atau perselisihan, melainkan sebuah proses aktif dan dinamis yang melibatkan penyeimbangan berbagai unsur yang berbeda, baik di dalam diri manusia maupun dalam relasi sosial dan kosmis. Harmoni dipandang sebagai kondisi ideal di mana segala sesuatu berkembang secara teratur, saling melengkapi, dan menghasilkan kebahagiaan serta kemakmuran bersama. Konsep harmoni dalam ajaran Nabi Kongzi bersifat multidimensional. Pada tingkat individu, harmoni dicapai melalui pembinaan diri yang mencakup aspek fisik, mental, dan moral. Seorang manusia yang bermoral (junzi) harus mampu menyeimbangkan dorongan-dorongan batin, menghindari sikap ekstrem, dan menjaga ketenangan pikiran. Dalam Analekta, Nabi Kongzi menegaskan bahwa orang berbudi luhur adalah mereka yang mampu menyesuaikan dan menyeimbangkan energi (qi) dalam dirinya, sehingga terhindar dari kegelisahan dan kecemasan yang berlebihan. Proses ini menuntut refleksi diri yang berkelanjutan dan usaha sadar untuk memperbaiki karakter. Pada tingkat sosial, harmoni diwujudkan melalui hubungan yang adil, saling menghormati, dan kerja sama antara berbagai pihak yang berbeda. Nabi Kongzi mengajarkan bahwa harmoni bukanlah keseragaman atau penyeragaman, melainkan hasil dari interaksi kreatif antara unsur-unsur yang beragam baik dalam keluarga, masyarakat, maupun negara.
Biarpun Seorang Yang Jahat, Bila Mau Membersihkan Hati, Berpuasa dan Mandi, Dia Boleh Sembahyang Kepada Tian Yang Maha Tinggi
Oleh : Gampang Madiangin
Mengzi meyakini bahwa watak sejati manusia adalah baik, seperti tersurat dalam Mengzi Jilid III A : 1 (2), “Mengzi mengatakan bahwa watak sejati manusia itu baik dan selalu membicarakan serta memuji Raja Yao dan Shun.” Mengzi meyakini bahwa setiap manusia lahir dengan benih-benih kebjikan di dalam dirinya, seperti Cinta Kasih, Kebenaran, Kesusilaan, dan Kebijaksanaan, dimana hal tersebut mengantarkan manusia pada rasa belas kasih, rasa malu, rasa tahu benar dan salah, serta rasa hormat kepad orang lain. Namun dalam setiap perjalanan hidup manusia bisa tergelincir atau menyimpang dari watak baik tersebut. Mengzi menekankan bahwa penyebab utama manusia menjadi jahat atau berbuat buruk bukanlah karena kodrat aslinya yang jahat, melainkan karena pengaruh lingkungan, kebiasaan buruk, dan kurangnya Pendidikan moral yang baik. Dengan kata lain, kondisi eksternal bisa menumpulkan benih-benih kebajikan dalam diri manusia. Tersurat dalam Mengzi, Jilid VI A : 7 (1), Mengzi berkata, “Pada tahun-tahun yang Makmur, anak-anak dan pemuda-pemuda kebanyakan berkelakuan baik; tetapi pada tahun-tahun paceklik, anak-anak dan pemuda-pemuda kebanyakan berkelakuan buruk. Ini bukanlah karena Tuhan YME menurunkan Watak Sejati yang berlainan, melainkan karena hatinya telah terdesak dan tenggelam dalam keadaan yang buruk.” Jelas dalam ayat ini bahwa Mengzi meyakini Watak Sejati manusia itu dapat dipengaruhi oleh lingkungan yang tidak baik dan kecenderungan manusia sebenarnya adalah perbuatan baik. Mengzi tidak pernah menganggap bahwa kejahatan sebagai takdir seumur hidup manusia. Bahkan orang yang paling buruk sekalipun memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini sejalan dengan kutipan ayat yang menjadi judul dalam tulisan ini yaitu “Biarpun seorang yang buruk/ jahat, bila mau membersihkan hati, berpuasa dan mandi; dia boleh sembahyang kepada Tian Yang Maha Tinggi ( Mengzi IV B : 25,2 hal 307).”
Puncak kejayaan Ru Jiao 儒教 di Zaman Dinasti Han
Oleh : Afat, S.Pd
Pada masa Dinasti Qin (221–206 SM), Ru Jiao menghadapi penindasan berat. Kaisar Qin Shi Huang memandang ajaran-ajaran filsafat, termasuk Ru Jiao, sebagai ancaman terhadap kekuasaan sentral dan stabilitas negara. Peristiwa pembakaran buku dan penguburan hidup-hidup para cendekiawan (fen shu keng ru) terjadi pada 213–212 SM, di mana banyak karya klasik dan filosofis dari berbagai aliran, termasuk ajaran Konfusius, dimusnahkan dan ratusan cendekiawan dihukum mati. Tujuan utama kebijakan ini adalah menyingkirkan pengaruh pemikiran yang dianggap subversif dan memperkuat legalisme sebagai satu-satunya ideologi negara. Akibatnya, banyak warisan intelektual dan moral Tiongkok kuno hampir hilang, dan para pengikut Ru Jiao harus bersembunyi atau beradaptasi untuk bertahan hidup. Setelah kejatuhan Dinasti Qin, Dinasti Han yang didirikan oleh Liu Bang (Han Gao Zu) membawa perubahan besar. Pemerintah Han mulai mengumpulkan kembali kitab-kitab suci yang sempat dimusnahkan dan mendirikan lembaga-lembaga khusus untuk melestarikan serta mengembangkan ajaran Ru Jiao. Pada masa awal Han, meski ideologi Taoisme dan legalisme masih berpengaruh, perlahan-lahan Ru Jiao mulai mendapatkan tempat kembali. Para cendekiawan Ru Jiao juga menyerap unsur-unsur legalisme, Taoisme, dan Yin-Yang untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan pemerintahan Han. Proses restorasi ini menjadi fondasi penting bagi kebangkitan Ru Jiao sebagai kekuatan utama dalam masyarakat dan negara. Pada masa inilah istilah Kong Jiao (ajaran Kongzi) mulai digunakan, menegaskan identitas Ru Jiao sebagai ajaran yang diwariskan langsung dari Nabi Kongzi (Konfusius). Puncak kejayaan Ru Jiao dimulai pada masa Kaisar Han Wu Di (141–87 SM). Pada tahun 136 SM, Kaisar Han Wu Di secara resmi menetapkan Ru Jiao sebagai agama negara (Guojiao). Kebijakan ini merupakan keputusan monumental yang mengubah struktur pemerintahan dan masyarakat Han secara fundamental.
Mengapa Menjadi Pemimpin Itu Sukar dan Menjadi Pembantupun Tidak Mudah
Oleh : Ws. Suhardi
Dalam setiap tatanan sosial, baik itu pada skala kecil seperti keluarga, komunitas, organisasi, Perusahaan, bahkan pada sebuah negara, keberadaan pemimpin dan peran seorang pembantu adalah sebuah keniscayaan. Keduanya merupakan komponen fundamental yang saling melengkapi dan tak terpisahkan dalam mencapai tujuan bersama. Pada kenyataan, realita dilapangan menunjukan bahwa menjadi seorang pemimpin sangatlah sukar dan jauh dari kata mudah. Tanggung jawab yang diembannya sangatlah besar meliputi visi misi, strategi, kebijakan, skill leadership, pengambilan keputusan yang beresiko, dan harus memiliki kemampuan untuk memotivasi dan mengarahkan setiap individu dengan latar belakang dan karakter yang beragam. Selain itu seorang pemimpin juga harus siap menghadapi kritik, kegagalan, dan tekanan yang konstan serta harus tetap mampu untuk tetap menjaga integritas dan optimisme ditengah badai permasalahan. Kesuksesan atau kegagalan sebuah visi misi seringkali diletakkan dipundak pemimpin. Pada era globalisasi saat ini kepemimpinan transformasional sangat diperlukan guna membawa suatu organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan yang disepakati secara optimal. Adapun yang dimaksud kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang ditandai dengan sosok pemimpin sebagai pembaharu, memberi teladan, mendorong bawahan, bertindak dengan system nilai, meningkatkan kemampuan secara terus menerus, dan mampu menghadapi permasalahan yang rumit (Sekolah et al., 2019). Disisi lain peran pembantu sering kali disebut sosok pendukung, namun posisi pembantu bukan berarti tanpa tantangan.
Strategi Manajemen Dalam Menunjang Pertumbuhan Usaha Toko Meubel Berkah
Oleh : Ade Setiadi
Toko Meubel Berkah merupakan salah satu unit usaha kecil dan menengah (UKM) yang bergerak di bidang perdagangan ritel furnitur dan berlokasi di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Perusahaan ini menyediakan berbagai produk mebel yang diperuntukkan bagi kebutuhan rumah tangga, seperti meja makan, kursi tamu, lemari pakaian, tempat tidur, rak serbaguna, serta perlengkapan interior lainnya yang umum dibutuhkan masyarakat. Sejak awal berdirinya lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Toko Meubel Berkah telah berhasil memposisikan diri sebagai toko furnitur lokal yang terpercaya, berkat konsistensinya dalam menjaga kualitas produk, menawarkan harga yang kompetitif, serta memberikan layanan yang ramah dan efisien kepada pelanggan. Seiring waktu, perkembangan kebutuhan masyarakat dan perubahan pola konsumsi turut mendorong dinamika yang cukup besar dalam industri furnitur domestik. Hal ini terlihat dari meningkatnya ketertarikan terhadap desain interior, kuatnya pengaruh media sosial dalam membentuk gaya hidup konsumen, serta pergeseran kebiasaan berbelanja dari konvensional ke digital. Dalam situasi ini, Toko Meubel Berkah dihadapkan pada tantangan persaingan yang kian ketat, baik dari toko furnitur berskala nasional maupun platform digital yang menawarkan aneka produk dengan harga yang sangat kompetitif. Era digital juga telah mentransformasi perilaku konsumen dalam hal pencarian informasi, proses evaluasi, hingga keputusan pembelian. Perubahan ini menuntut pelaku usaha furnitur tradisional untuk segera beradaptasi dalam berbagai aspek, mulai dari strategi pemasaran digital, peningkatan mutu layanan, hingga pembaruan sistem manajemen operasional yang lebih terintegrasi dan efisien.
Konsep Penyiaran Dalam Agama Khonghucu
Oleh : Dr. Ongky Setio Kuncono, S.Pd., SH., SE., MM., MBA., MSc.
Memang agama agama siar pada umumnya adalah agama Kristen dan Islam, sementara agama Budha termasuk yang bersifat semi, meski tidak terlalu disiarkan, melainkan proses penyiaran berjalan dan berkembang di beberapa negara. Agama agama Hindu dan Khonghucu tergolong agama yang tidak terlalu aktif dalam penyiarannya. Meski dalam prakteknya pada umumnya Khonghucu tidak disiarkan, namun dalam ajarannya model penyiaran ada tersirat didalamnya. Jadi landasan penyiaran agama tertera dalam Kitab Kitabnya. Jika kita lihat sejarah perkembangan agama Khonghucu di luar Tiongkok memang berjalan secara alami seperti di beberapa negara Korea, Hongkong. Taiwan. Di negara Indonesia para perantau yang secara melekat membawanya sehingga tradisi agama masih dijalankan dengan baik. Namun di negara negara Eropa pengenalan agama Khonghucu justru dibawa oleh kaum Yesuit. Para pastur dan petinggi Katolik yang datang ke Tiongkok dalam rangka menyebarkan agama Kristen, setelah mereka pulang kemudian membawa berita ke Eropa tentang Khonghucu yang kemudian terkenal dengan Confucius. Sebagai pernah kita lihat Matteo Ricci adalah salah satu misionaris Katolik asal Italia dari ordo Serikat Yesus (Yesuit) yang datang ke Tiongkok Selatan 1583 dan akhirnya sampai di Beijing 1601 M. Matteo Ricci mempelajari bahasa Mandarin, budaya, dan filsafat Tiongkok khususnya Konfusius serta menjalin hubungan dengan cendekiawan dan pejabat.